Wednesday 6 April 2016

A THEORY OF JUSTICE


Hasil gambar untuk poto john rawls

John Borden Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls.[1]

Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya. 

Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung bergabung menjadi tentara. Liku perjalanan kehidupannya dimulai pada saat terjadinya Perang Dunia II ketika dirinya diangkat sebagai prajurit infantri dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Akibat pengalaman pahitnya sebagai saksi hidup atas terjadinya tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima, Rawls mengundurkan diri dari karir kemiliterannya pada 1946. Tidak lama setelah itu, dirinya kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis. Tiga tahun kemudian, Rawls menikah dengan Margaret Warfield Fox Rawls, seorang wanita yang kemudian membantunya melakukan penulisan indeks terhadap buku “Nietzsche”. 

Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy(Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan antara kebebasan negatif (negative liberty) dan kebebasan positif (positive liberty) diperolehnya dari pemikiran Berlin. 

Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah untuk mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.

Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untuk memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan Professor Emeritus di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the British Academy, dan the Norwergian Academy of Science. 

Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu, dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat orang cucu yang masih belia[2]. 



KONSEP BANTAHAN RAWLS ATAS UTILITI DAN INSTUISI 

Dalam menilai konsep keadilan yang telah berkembang, Rawls menggunakan reflective equilibrium. Relative equilibrium adalah metoda ataupun pendekatan untuk melakukan pertimbangan dan penilain yang mendalam atas berbagai konsep keadilan yang berbeda-beda.[3] Konsep ini digunakan untuk menilai secara filosofis dan rasional atas suatu konsep, dalam hal ini penilai dapat melakukan penilaian kembali serta menyelaraskan keputusannya terhadap konsep yang telah ada. Dalam mengembangkan teori Rule Of Justice Rawls melakukan penilaian atas dua teori, yaitu teori utilitarianisme dan teori instuionisme. 

a. Kritis terhadap Utilitarianisme. 

Dalam studi utilitarianisme ada banyak aliran yang telah berkembang, namun dalam hal ini Rawls memililih konsep yang dikembangkan oleh Henry Sidgwick yang dianggap sebagai teori utilitarianisme klasik. Utilitarianisme dalam rumusan yang paling sederhana mengklaim bahwa tindakan atau atau kebijaksanaan yang secara moral adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat.[4] Utilitarianisme sebagai sebuah moralitas politik berlaku apa yang dikatakan Rawls ‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku individu-individu secara pribadi. Kaum utilitarian secara tradisional telah mendefinisakan utiliti dalam pengertian kebahagiaan (happiness), maka slogan umum yang digunakan adalah ‘the greatest happiness of the greatest number’atau “kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbesar”. Tentu slogan yang demikian menyesatkan karena slogan yang menyerukan kehidupan ‘hedonis’. 

Selain itu, tolak ukur tingkat kesejahteraan suatu masyrakat adalah secara keseluruhan. Jika yang menjadi tolak ukur adalah ‘keseluruhan’ maka ada yang di korbankan, dalam hal ini adalah individu-individu, lebih tragis yang menjadi korban adalah individu yang cacat. Maka utilitarianisme telah mengorbankan indvidu sebagai tolak ukur yang di gunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan. Maka utilitarianisme telah gagal dalam menjamin keadilan itu sendiri.

Dalam pandangan Rawls tidak fair jika kita mengorbankan kepentingan satu atau sekelompok orang hanya untuk kepentingan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. 

b. Kritik atas teori instuisionisme 
Dalam pandangan Rawls instuitif memang dapat mengatasi masalah keadilan. Namun instuisionime tidak menerapkan suatu batasan- batasan dalam suatu masalah yang utama, sehingga pada masalah yang akan diselesaikan cenderung lebih mementingkan diri sendiri. Maka, konsep keadilan bersama yang di harapkan tidak lagi terwujud, yang terjadi adalah kepentingan pribadi lebih di utamakan dari pada kepentingan bersama. 
Dalam hal ini Rawls mendeskripsikan instuisionisme secara lebih padat kedalam dua ciri utama: 

Pertama, teori instuisionisme dibentuk oleh pluralitas prnsip-prinsip pertama yang mungkin bertentangan, yang memberikan petunjuk-petunjuk yang tidak masuk akal dalam kumpulan kasus-kasus khusus; kedua, teori-teori instuisionis tidak mengandung metode yang eksplisit, tanpa prioritas aturan-aturan, uuntuk mempertimbangkan prinsip-prinsip ini satu sama lain. Kita hanya menyetujui keseimbangan intuisi dengan sesuatu yang bagi kita nampak seperti hampir benar. Atau jika terdapat prioritas aturan-aturan ini dianggap lebih kurang sepele dan tidak banyak membantu dalam mencapai sebuah keputusan[5]. 

Dengan demikian kelemahan instuisionisme sebagai teori keadilan menjadi tergugat.





MODEL MASYARAKAT YANG ADIL 

Dalam mengembangkan model struktur masyarakat yang adil ini, Rawls memusatkan diri terutama pada susunan institusional masyarakat yang menurut Rawls akan memenuhi prinsip perbedaan. Dalam masyrakat kita terdapat pemilikan pribadi atas modal dan sebagian suber-sumber alam . Cabang alokasi semacam itu dipakai untuk mempertahankan sistem pasar bebas. Dengan itu cabang pencipta stabilitas yang fungsinya mengedepankan lapangan kerja yang layak juga ada, sedangcabang transfer menjamin pendapatan minimum masyarakat entah dengan jaminan keluarga atau jaminan khusus bagi si sakit atau penganggur. Atau lebih sistimatis lagi dengan tambahan pendapatan bertahap. Cabang distribusi bertugas menjaga keadilan dalam pembagian dengan sarana pajak dan penyesuaian hak milik. Cabang ini meliputi penentuan sejumlah pajak warisan dan penentuan pajak untuk menaikkan pendapatan yang dituntut prinsip keadilan. 

a. Keadilan Sosial

Dalam pandangan Rawls keadilan sosial dapat dijalankan jika masyarakat tersebut sudah tertata dengan baik, lebih lanjut Rawls mengatakan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang strukturnya sendiri sudah adil. Adapun ciri-ciri masyarakat yang adil itu yaitu:[6] 
  1. Setiap warga masyarakat yang bersangkutan menerima konsep umum yang sama tentang keadilan, dan konsep tersebut dimengerti secara luas. 
  2. Setiap warga memiliki rasa keadilan yang efektif, yang menuntut mereka kepada kehendak untuk menyelenggarakan keadilan yang mereka perlukan itu. 
  3. Masyarakat tersebut secara konsisten merealisasikan konsep umum tersebut di dalam lembaga-lembagaa. 
Ketiga ciri pokok tersebut Rawls menyebutnya sebagai the three levels of publicity. Hal ini menurut Rawls mampu mewadahi pandangan-pandangan moral yang berbeda-beda, sehingga kemudian menjalaninya kedalam kerjasama sosial diantara warga masyarakat yang rasional, sederajat, dan bebas. Adapun keadilan sosial itu pada akhirnya tidak hanya sekedar bahwa segenap kebebasan yang sama ataupun setara dari setiap orang itu terlindungi semata, melainkan terutama juga bahwa kebebasan-kebebasan dasar terselenggara secara efektif oleh semua pihak dimasyarakat yang bersangkutan, sampai pada suatu tataran bahwa kenyamanan suasana kebebasan terasa maksimal bagi mereka yang kurang beruntung (the worst off).[7]

Konsep the worst off dalam istilah lain Rawls menyebut dengan the least advantaged untuk menunjuk masyarakat yang kurang beruntung atau kaum yang tidak berkemampuan secara fisik atau mental. 

b. Primary Of Goods
Primary goods adalah segala sesuatu yang setiap orang memerlukan dalam status mereka sebagai warganegara yang bebas dan sederajat, maupun sebagai warga masyarakat yang normal dan sepenuhnya kooperatif dalam kehidupan mereka yang selengkap nya[8].

Terdapat dua  jenis primary goods. Pertama, natural primary goods; dan kedua, social primary goods. Natural primary goods terdiri atas:
  1. Kesehatan dan kebugaran. 
  2. Intelegensi dan imajinasi 
Sedangkan social primary goods adalah hak dan kebebasan, kesempatan dan daya kemampuan, pendapatan dan kekayaan.[9] Secara lebih khusus social primery goods terdiri atas: 
  1. Pendapatan dan kekayaan (income and wealth). 
  2. Daya kemampuan dan hak-hak prerogatif untuk mengisi jabatan dan posisi yang menuntut tanggung jawab. 
  3. Martabat pribadi yang berbasis sosial. 
Primary goods dimaknai sebagai kondisi setia orang untuk berusaha mengejar dan mewujudkan sesuatu yang dipandangnya baik serta mengembangkan dan melaksanakan kedua kemampuan moral yang dimilikinya. Adapun kedua kemampuan moral yang dimaksud adalah kemampuan alami untuk memiliki konsep yang baik dan konsep yang adil, adapun nilai-nilai primer itu adalah: 
  1. Kebebasan-kebebasan dasar, nilai ini dimaksudkan untuk memahami apa yang baik dan yang adil. 
  2. Kebebasan bergerak dari kebebasan memilih pekerjaan. 
  3. Daya kemempuan dan hak-hak prerogatif untuk mengisi jabatan dan posisi yang menuntut tanggung jawab. 
  4. Pendapatan dan kekayaan. 
  5. Martabat pribadi berbasis sosial. 
Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh setiap individu untuk menjadi manusia yang sesungguhnya sesuai dengan esensial dari seorang personal moral. Dengan demikian nampak Rawls menaruh perhatian yang besar terhadap Primary Goods atau nilai-nilai primer, bagi Rawls sungguh mustahil untuk mencapai masyarakat yang adil jika nilai-nilai primer ini tidak teraplikasikan dalam suatu masyarakat.


PRINSIP-PRINSIP KEADILAN RAWLS
Dengan demikian prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang diutungkan. 

Konsepsi umum keadilan rawls terdiri atas gagasan utama; ‘semua barang-barang social yang utama, kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasara kehormatan diri harus didistribusikan secara sama kecuali kalau distribusi tidak sama atas sebagaian atau seluruh barang ini menguntungkan mereka yang paling kurang sukai’. [10] 

Dalam konsepsi umum ini, rawls mengaitkan gagasan tentang keadilan dengan gagasan tentang pembagian barang-barang social secara sama. Jhon Rawls memulai tulisannya dalam buku A theory of justice dengan keluhan bahwa teori politik terjebak diantara dua ekstrim; di satu pihak utilitirianisme dan di pihak lain campuran berbagai gagasan dan prinsip yang tidak koheren. Rawls menyebut alternatif kedua ini sebagi ‘institusionisme’ sebuah pendekatan yang sedikit menyerupai rangkain anekdot yang didasarkan pada instuisi tertentu  mengenai berbagai isu tertentu.  

Instuisionisme merupakan alternatif yang tidak memuaskan bagi utilitirianisme, karena walaupun kita sebenarnya memperagakan instuisi anti-utilitirianisme pada isu-isu tertentu, kita juga menginginkan sebuah teori yang menjelaskan mengapa contoh-contoh khasus ini tidak kita setujui. Tetapi ‘institusionalisme’ tidak pernah sampai melewati, atau dibawah, instuisi-instuisi awal ini untuk menunjukkan hubungannya untuk menyediakan prinsipyang mendasari dan memberikan struktur terhadapanya. 

Dalam pandanganRawls, memperlakukan orang secara sama tidak dengan menghapuskan semua ketimpangan(inqualities) tetapi hanya ketimpangan-ketimpangan tertentu menguntungkan semua orang dengan membangkitkan berbagai energy dan bakat yang bermanfaat secara social, maka ketidaksaan ini dapat diterima semua orang. 

Jika memberlebih banyak uang dari pada yang saya miliki pada orang lain akan mempromosikan kepentingan-kepentingan saya, maka perhatian yang sama demi kepentingan-kepetingan saya menyarankan agar kita mengijinkan dari pada melawan ketimpangan itu. 

Ketimpangan diperbolehkan jika meningkatkan bagian yang sama, yang menjadi hak saya pada awalnya, tetapi tidak diperbolehkan jika seperti dalam utilirianisme, ketimpangan itu melanggar bagian yang sama, yang menjadi hak saya inilah gagasan tuggal yang sederhana pada jantung teori Rawls[11].

Rawls membagi konsepsi umum kedalam tiga bagian menurut prinsip prioritas leksikal:
Pertama, tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan system kebebasan serupa bagi semua orang. 

Kedua, ketimpangan social dan ekonomi diatur sedemikianrupa sehingga keduanya: 
  1. Memberikan keuntungan terbesar untuk yang paling tidak diuntungkan.  
  2. Membuka posisi-posisi dan jabatan bagi semua dibawah kondisi-kondisi persamaan kesempatan yang fair.
Ketiga, Kesempatan yang fair lebih penting dari pada perbedaan.

Rawl tidak mendukungsebuah prinsip umum kebebasan, yaitu, bahwa segalasesuatu yang secara masuk akal dapat dinamakan sebagai kebebesan diberikan prioritas yang paling penting.Sebaliknya ia memberikan perlindungan khusus pada apa yang ia naxmakan  ‘kebebasan-kebasan dasar’ (basic liberties), yang diartikannya sebagai standar hak-hak politik dan sipil yang diakui dalam demokrasi liberal, hak untu memilih, mencalonkan diri dalam jabatan, membela diri, kebebasan berbicara, bergerak, dan lain-lain[12]. Hak sipil ini sangat penting untuk membedakan  liberalism adil adalah bahwa lieberalisme memberikan prioritas pada kebebasan-kebebasan dasar ini. 

Terdapat dua argument prinsip-prinsip keadilan Rawls: pertama, mengkontraskan teorinya dengan apa yang dianggapnya sebagai ideology yang kini berlaku dalam keadilan distributive yaitu cita-cita tentang persamaan kesempatan; kedua,prinsip-prinsip keadillannya lebih unggul karena merupakan hasil sebuah kontrak social hipotesis. Ia mengklaim bahwa orang dalam satu keadaan pra-sosial tertentu dipaksa memutuskan mana prinsip-prinsip yang harus mengatur masyarakat mereka, mereka akan memilih prinsip-prinsipnya. Rawls menyebut orang-orang berada dalam original position memiliki kepentingan rasional untuk mengatur kerjasama social. 

Dalam halaman 10 Rule of Justice, Rawls memberi konsep yang jelas terhadap konsep keadilannya. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Prinsip ini mencakup:[13] 
  1. Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan).
  2. Kebebsan berbicara (termasuk kebebasan pers). 
  3. Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama). 
  4. Kebebasan menjadi diri sendiri (person). 
  5. Hak untuk mempertahankan milik pribadi.
Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the prinsiple of fair equality of opprtunity). Inti prinsip pertama adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosio-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidak samaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.

Prinsip Utama Dasar Keadilan Rawls
Mengemukakan tiga macam kebenaran bagi prinsip keadilan yang ia bangun, dua diantaranya pada daya penilaian moral yang sungguh dipertimbangkan, dan yang ketiga berdasarkan apa yang ia sebut sebagai interpretasi Kantian terhadap teorinya. 

Dasar kebenaran pertama bersandar pada tesis: “Jika sebuah prinsip mampu menerangkan penilaian dan keputusan moral kita yang sungguh dipertimbangkan tentang apa itu adil dan tidak adil”. 

Menurut dasar kebenaran kedua : “Jika menurut keputusan moral kita sebuah prinsip dipilih dibawah kondisi yang cocok untuk pemilihan”.
Dalam dasar kebenaran ketiga, mengembangkan gagasan Kant tentang pelaku otonom. 

Tujuan Keadilan Yang Dikemukakan Rawls 
 Setidaknya terdapat dua hal tujuan teori keadilan yang dikemukakan oleh Rawls:[14] 

Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan “keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif. 

Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya “rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdiakan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandikan untuk memaksimilasi keuntungan rata-rata perkapita. 

Prioritas Keadilan Rawl
Dari uraian panjang di atas maka terdapat dua prioritas utama teori keadilan Rawls:[15] 
  1. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal berlaku lebih dahulu dari pada prinsip kedua, baik prinsip perbedaan maupun prinsip persamaan atas kesempatan. Itu berarti hanya pertama-tama kita memenuhi tuntutan prinsip pertama sebelum berlanjut memenuhi prinsip kedua. Prioritas pertama dalam keadilan sosial adalah kebebasan yang sebesar-besarnya. Hanya setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya,kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip kedua.  
  2. Prioritas kedua merupakan relasi antar dua bagian prinsip keadilan yang kedua. Menurut Rawls prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dahulu dari pada prinsip perbedaan. 


INTI PEMIKIRAN KEADILAN RAWLS.
Justice as Fairness 

Justice as Fairness (keadilan adalah kejujuran) merupakan konsep keadilan John Rawls tentang keharusan mendistribusikan nilai-nilai sosial dalam masyarakat secara fair, sehingga memberi keuntungan bagi semua pihak yang ada dan berdasarkan kesepakatan yang dicapai dari musyawarah dintara mereka[16]. Rawls mengakui bahwa sulit mewujudkan keadilan dalam kondisi orang yang memiliki banyak perbedaan, kepentingan, kekuatan atau pretensi dalam masyarakat. Apa pun perbedaan yang ada dalam berbagai rencana - rencana hidup pada setiap individu, namun ada suatu usaha untuk mengejar konsep tentang kehidupan yang baik bagi semua orang. Untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang baik ini, maka dibutuhkan komitmen dan prinsip-prinsip yang akan dilaksanakan dalam masyarakat. Menurut Rawls, yang sama sama ingin dicapai oleh semua orang disebut dengan nilai-nilai primer, bukan nilai-nilai natural primer. Nilai-nilai sosial primer yang dimaksudkan Rawls adalah pendapatan, kekayaan, kesempatan, kekuasaan, hak dan kebebasan. Sedangkan nilai-nilai natural primer adalah kesehatan, kecerdasan, kekuatan, imajinasi dan bakat-bakat alamiah.[17] 

Justice as Fairness Rawls adalah suatu konsep keadilan yang diterapkan pada struktur dasar yang disusun sejalan dengan berbagai konsepsi komprehensif individu, bukan disusun untuk seluruh kehidupan kelompok.[18]Adapun yang menjadi perhatian John Rawls adalah nilai-nilai sosial primer, karena nilai-nilai inilah yang didistribusikan langsung, dipengaruhi dan dikendalikan oleh struktur dasar masyarakat. 

A. The Original Position (Posisi Asali) 
The original position atau posisi asali adalah suatu kondisi hipotesis yang mirip dengan kontrak sosial yang dikemukakan oleh hobbes, lock, dan Rousseau. Adapun ciri-ciri posisi asali ini adalah:[19] 
  1. A veil of ignorance.
  2. Prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesederajatan. 
  3. Straegi maximin.
Veil of Ignorance (Selubung Ketidaktahuan) suatu konsep yang digambarkan oleh Rawls pada masyarakat yang telah memiliki rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Pada kondisi ini semua orang menganggap bahwa mereka belum memiliki pengetahuan, tidak ada interest untuk menguasai satu sama lainnya, dan tidak ada hasrat untuk mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya. Dalam kondisi seperti ini mereka kemudian melakukan “kontrak sosial” yang bersifat resiprositas, menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam kontrak sosial tersebut.[20] 

Konsep Rawls ini ada kesamaan dengan pemikiran Rousseau tentang manusia yang teralienasi akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan. Agar “sembuh” dari alienasi ini, maka manusia harus kembali ke keadaan alamiah dalam “keadaan primitif” sehingga dia merasakan sebagai manusia yang otonom dan berbahagia.Tetapi, tidak seperti intelektual yang lain, yang menggunakan teori “kontrak” untuk melegitimasi negara, Rawls menggunakan teori kontraknya untuk melegitimasi prinsip-prinsip moral dalam keadilan. 

Rawls menerangkan a veil of ignorance ini sebagai suatu kondisi yang:[21] 
  1. Setiap orang (yang berpartisipasi dalam kesepakatan) tidak memiliki pengetahuan tentang pelbagai alternatif yang akan mempengaruhi mereka di dalam proses perumusan dan pemilihan dalam rangka proses kesepakatan tersebut. 
  2. Mereka harus mampu melakukan penilaian yang melulu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang umum sifatnya.
  3. Mereka hanya dituntut oleh formal constraints, lepas dari kepentingan pribadi mereka masing-masing yang bersifat khas itu
Rawls menggambarkan keadaan kondisi masyarakat yang terisolasi ini dalam A theori of justice sebagai berikut:

B. A Veil of Ignorance

Tak seorangpun yang tahu tempatnya di dalam masyarakat, posisi kelas atau status sosialnya, ia juga tidak tahu keberuntungannya dalam distribusu aset-aset serta kekacauan alamiah, kecerdasan dan kekuatan, dan lain-lain. Juga tak ada yang tahu soal konsepsinya tentang konsepnya sendiri mengenai yang baik, termasuk rencana hidupnya sendiri secara terperinci atau ia bahkan juga tidak mengenal secara pasti situasi psikologinya, seperti ketidaksukaannya mengambil resiko serta kecenderungan bersikap optimis atau pesimis, semua pihak juga tidak mengetahui situasi khusus yang melingkupi masyarakat mereka. Artinya mereka tidak tahu situasi ekonomi dan politiknya, atau taraf peradaban dan kebudayaan yang telah dapat dicapai.[22] 

Konsep veil of ignorance fundamental di sini karena menentukan apakah kontrak atau persetujuan dapat dilakukan atau tidak. Dengan veil of ignorance, orang-orang pada original position dalam posisi setara, moral maupun informainya, konflik kepentingan dapat di tidurkan sehingga membuat pilihan secara aklamasi konsepsi keadilan tertantu menjadi mungkin.


Prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesederajatan.

Prinsip Rasionalitas Jhon Rawls membedakan prinsip rasionalitas ke dalam dua makna dalam mewujudkan kebijakan yang fair yaitu:[23]
  1. The Rational atau Rational Authonomy (otonomi rasional). 
  2. The Reoasonable atau full authonomy (autonomi penuh).
The Rational atau otonomi rasional adalah kemampuan individu untuk secara otonomi memiliki konsep yang baik. Hal ini merupakan basis rasional bagi individu untuk mendapatkan apa yang dipandangnya bermanfaat bagi dirinya. Dengan demikian tha rational itu berada dalam konteks pertimbangan indiidual.  

The Reasonable atau otonomi penuh itu berlaku terutama dalam konteks pengambil keputusan. Ada banyak pihak dalam proses itu. Ada banyak pertimbangan yang harus diperhatikan, dei mengamankan kepentingan minimum setiap pihak. Dengan demikian keputusan yang hendak diambil harus menguntungkan semua pihak. 

Otonomi rasional atau prinsip rasional dalam arti teh rational dalam posisi asali terefleksi dalam keadaan prosedural murni. Artinya, rasionalitas atau pertangung jawaban moral dalam posisi asali tersebut sepenuhnya tergantung pada prosedur yang oleh semua pihak telah disepakati dan diterima sebagai prosedur yang fair. 

Kebebasan 
Dalam Well-ordered society prinsip kebebasan itu dipahami sebagai kondisi yang tidak lagi membutuhkan otoritas dari luar untuk menentukan apa yang baik dan buruk, yang adil dan yang batil, karena prinsip-prinsip keadilan sudah menjadi bagian dari cara hidup masyarakat itu sendiri. Rawls yakin bahwa para pihak dalam posisi asali tidak akan mengunakan indepedensinya itu untuk memilih prinsip-prinsip keadilan yang justru mengancam kebabasan itu sendiri ataupun yang justru akan memperkosa kebaikan dan keadilan itu sendiri. 

Prinsip Kesejahteraan 
Prinsip kesejahteraan pada hakikatnya adalah prinsip yang memperlakukan semua pihak dalam posisi asali secara sama atau setara. Proses kesepakatan tersebut membebani tuntutan yang sama pula. Khusunya kepada para pihak yang terlibat dalam posisi asali diakui sebagai person ang memiliki hak dan sekaligus dibebebani kewajiban yang sama. 

Masalah timbul manakala prinsip kesederajatan ini dikaitkan dengan mereka yang memiliki talenta lebih. Tujuan pembatasan dan perlakuan ini adalah upaya perumusan prinsip-prinsip keadilan yang berfungsi mengatur struktur dasar masyarakat yang sedemikian rupa sehingga setiap orang dappat memperoleh manfaat dari pengaturan sendiri. Maka satu-satunya untuk terselenggaranya prinsip-prinsip keadilan adalah kemampuan moral manusia.[24] 

C. Strategi Maximin 
Maximin adalah bentuk singkatan dalam bahasa latin, maximum minimorum.[25]. Dengan strategi ini rawls memaksudkan bahwa keputusan untuk memilih salah satu konsep keadilan itu hanya akan menjadi keputusan yang paling dapat dipertanggungjawabkan apabla keputusan itu diambil dengan memperhatikan hasil paling buruk yang dapat timbul sebagai implikasi dari konsep keadilan yang dipilih.[26] 

Memaksiminkan atau maximin ruleyang dimaksud oleh Rawls sebagai upaya dalam mengatasi ketimpanganketimpanganyang ada dimasyarakat.Maximin rule akan membuat keuntungan yang sama dan kebebesan kebebasan dasar yang sama pada seluruh individu dalam masyarakat, baik bagi mereka yang telah beruntung maupun bagi mereka yang belum beruntung. Bisa dikatakan konsep ini menyatakan perlunya “berbagi” pada sesama. Bagi yang telah beruntung tidak merasa dirugikan, sebaliknya, bagi mereka yang belum beruntung memperoleh keuntungan juga (kebahagiaan adalah hak semua individu).[27] 


KLAIM RAWLS ATAS TEORINYA 

Diantara pertimbangan-pertimbangan moral kita yang paling mendasar adalah keyakinan bahwa sturktur dasar masyarakat yang mendiskriminasikan manusia dalam hal kebebasan adalah struktur masyarakat yang tidak adil. Tetapi prinsip utilitarian pun dapat melahirkan pandangan semacam itu. Rawls menyatakan bahwa pandangan kebebasan menurut kaum utilitarian menyimpan asumsi yang meragukan, yaitu asumsi yang menyatakan bahwa setiap orang punya kemampuan dan peluang yang sama untuk melaksanakan kebebasan-kebebasan dasar. Kebebasan bukan lagi nilai yang pada dirinya sendiri harus ada, melainkan cenderung menjadi barang mainan yang dapat didistribusikan. Menueurt pandangan utilitarian, jika setiap orang tidak menemukan kepuasan yang sama dalam hal kebebasan-kebebasan dasar, kepentingan dapat dicapai melalui distribusi yang tak sama dalam hal kebebasan dasar. Dengan kata lain, jika kemampuan menikmati kebebasan tidak sama, maka utilitarianisme menuntut distribusi yang tidak sama. Kebebasan orang-orang yang telah “terkutuk” yang memiliki kemampuan rendah untuk menikmati kebebasan dapat dibatasi jika langkah itu menghasilkan manfaat yang lebih besar. Utilitarianisme membenarkan susunan institusional yang secara sistematis kurang memberi keuntungan pada individu-individu, asal demi maksimalisasi keuntungan lain.[28] 

Sebaliknya prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya menyediakan pendasaran untuk meniadakan kelemahan itu dengan meniadakan diskriminasi pemenuhan kebeasan-kebebasan dasar jaminan itu tidak akan mengorbankan mereka yang paling kurang diuntungkan demi maksimalisasi kepentingan seperti misalnya dalam contoh penanaman modal di muka. Gambaran yang khas dari kondisi yang benar dilukiskan Rawls dengan menggunakan gagasan tradisional tentang kontrak sosial. Dalam gagasan tradisional tersebut prinsip-prinsip organisasi politik dapat dipandang sebagai kondisi dimana orang-orang membuat kontrak sosial. Dan prisip keadilan bagi struktur dasar masyarakat adalah prinsip yang menjelaskan bahwa pribadi-pribadi yang bebas, rasional. Dan menaruh concern pada kepentingan mereka harus menerima situasi persamaan asli sebagaimana dirumuskan dalam istilah “kerja sana”. Prinsip itu mengatur semua perjanjian selanjutnya, termasuk didalamnya bentuk pemerintahan yang harus didirikan. Gagasan “kontrak sosial” punya beberapa keuntungan.[29] 
  • Mengizinkan kita untuk memandang prinsip keadilan sebagai hasil pilihan bersama yang rasional.  
  • Gagasan kewajiban yang berdasar perjanjian menekankan pribadi-pribadi yang ambil bagian dalam pilihan bersama tersebut harus membuat komitmen dasar terhadap prinsip-prinsip tersebut harus didukung  
  • Gagasan “kontrak” sebagai perjanjian sukarela demi keuntungan timbal balik memuat anjuran agar prinsip-prisip keadfilan ada untuk mendukung kerjasama setiap orang dalam masyarakat, termasuk mereka yang kurang beruntung.

Ketiga faktor diatas menempatkan kontrak sosial bersifat hipotetis, yaitu memasyarakat-kan adanya perjanjian yang pasti ke dalam sederet prinsip-prinsip yang pasi pula. Kemudian hal ini juga meliputi penentuan prinsip-prinsip keadilan mana yang harus dipilih oleh individu-individu rasional. Posisi setiap individu merupakan siatuasi di mana prisip-prisip keadilan berkembang. Sebagai hasil perjanjian untuk kerjasama, prinsip-prinsip keadilan harus bersifat umum, universal dalam penerapan, dapat diuniversalkan, dapat diumumkan, bersifatmemutuskan dan menentukan.  

Sifat tersebut lahir dari inperatif agar struktur dasar masyarakat mendistribusikan secara adil hak-hak, kesejahteraan, pendapatn, otoritas dan kebutuhan dasar lain. Prinsip-prinsip keadilan bersifat umum jika dapat mencakup semua persoalan keadilan sosial yang mungkin muncul. Universal dalam penerapan berarti tuntutan-tuntutannya harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam artian harus menjadi prinsip yang univesalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat. Seandainya dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga masyarakat, prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti setiap orang.

Kemudian karena masalah keadilan muncul dimana individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas keuntungan yang dihasilkan oleh kerjasama sosial, prinsip-prinsip keadilan harus bersifat memutuskan, dalam arti menyediakan cara-cara membereskan tuntutan-tuntutan yang paling bertentangan. Yang terakhir prinsip keadilan harus menjadi prinsip yang menyediakan penentuan hasil bagi perselisihan masalah keadilan. Rawls mengusulkan pemilihan alternatif yang mempunyai kemungkinan paling baik dan aman. Cara itu dia sebut Maximin Rule Dan menurut Rawls.[30]Priorotas prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya akan menjamin hasil terbaik dari yang terburuk dalam ketidak pastian sekian banyak prinsip yang saling bersaing. Dengan pasti Rawls menyatakan bahwa hasil terbaik dari yang terburuk dalam utilitarianisme menuntut atau sekurang-kurangnya membenarkan pembatasan kebebasan secara ketat jika memang cara itu menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi keseluruhan. Karena utilitarianisme membenarkan adanya korban demi manfaat keseluruhan yang lebih besar di bawah prinsip-prinsip utulitarian kelas yang kurang mempunyai akses keuntungan sungguh-sungguh berada dalam keadaan yang buruk.


    Dahmunhari Fattah. Teori Keadi Lan Menurut John Rawls. Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli- Desember 2013.
    Faiz, Pan Muhammad.Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia. Jurnal .2009. halaman 1.
    Jhon Rawls. Basic Liberties and their Proirity”, in Sterling M. McMurrin(ed), 1987, Lberty, Equality. And Law,Cambridge: Cambridge University Press.
    Jhon Rawls. Teori keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara.Terjemaha. Uzair Hamzah dan Heru Prasetyo. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
    Jhon, rawls. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971.
    John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition.
    Kymlicka, will. Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas teori-teori keadilan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004.
    Rina Rehayati: Filsafat Multikulturalisme John Rawls. Jurnal Ushuluddin Vol. Xviii No. 2, Juli 2012.
    Schaefer, David Lewis. Justice of Tyranny? A Critique of John Rawls ‘Theory of Justce. New York: Kenniket.1979.
    soetoprawiro:keadilan sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia. Oktober 2010. Volume 28 No.2.  



[1]  Faiz, Pan Muhammad. Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia. Jurnal .2009. halaman 1.
[2]  Faiz, Pan Muhammad. Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia. Jurnal .2009.
[3]Soetoprawiro, Koerniatmanto. Keadilan sebagi keadilan: justice as fairness. Jurnal Hukum Projustitia. Oktober 2010. Volume 28 No.2. hal.7.
[4]Kymlicka, Will. Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas teori-teori keadilan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004. Hal. 12.
[5]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971.Hal: 34.
[6]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971. Hal: 35.
[7]Soetoprawiro, Koerniatmanto. Keadilan sebagi keadilan: justice as fairness. Jurnal Hukum Projustitia.  Oktober 2010. Volume 28 No.2. hal: 4.
[8]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971.hal: 8
[9]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971. hal: 54.
[10] Kymlicka, Will. Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas teori-teori keadilan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004.
[11]Kymlicka, Will. FilsafatKontemporer: KajianKhususAtasTeori-teoriKeadilan. PustakaPelajar. Yokyakarta.2004.
[12] Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971.
[13]Damunhari Fattah. Teori keadian menurut Jhon Rawls. Jurnal TAPIs. Vol.9. No.2. juli-Desmber. 2013.
[14] Dahmunhari Fattah. Teori Keadi Lan Menurut John Rawls. Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli- Desember 2013.  halaman 4.
[15]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971. Halaman: 45
[16]Rina Rehayati: Filsafat Multikulturalisme John Rawls. Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII No. 2, Juli 2012
[17]John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition, hlm. 3-7. Lihat juga Philip Pettit, an Introduction to Contemporary Political Philosophy, Routledge: London, 1980, hlm. 222
[18]Susan Moller okin, “Book Reviews: Political Liberalism”, American Political Review, Vol. 87, No. 4, 1993
[19] Soetoprawiro, Koerniatmanto. Keadilan sebagai keadilan: justice as fairness. Jurnal Hukum Projustitia.   Oktober 2010. Volume 28 No.2. hal:10.
[20]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971.. 104-105
[21] Di kutip dari soetoprawiro: keadilan sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia. Oktober 2010. Volume 28 No.2. hal:11.
[22]Jhon Rawls. Teori keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara.      Terjemaha. Uzair Hamzah dan Heru Prasetyo. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.Halaman 165.
[23]Di kutip dari soetoprawiro: keadilan sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia.Oktober 2010. Volume 28 No.2.Halaman 12.
[24]soetoprawiro: keadilan sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia. Oktober 2010. Volume 28   No.2. 13.
[25]John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition. halaman. 133.
[26]John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition. halaman 13.
[27]Rina Rehayati: Filsafat Multikulturalisme John Rawls. Jurnal Ushuluddin Vol. Xviii No. 2, Juli 2012. Hlm. 8.
[28]Schaefer, David Lewis.Justice of Tyranny? A Critique of John Rawls ‘Theory of Justce. New York: Kenniket.1979. Halaman:30.
[29]Jhon Rawls. Basic Liberties and their Proirity”, in Sterling M. McMurrin(ed), 1987, Lberty, Equality. And Law, Cambridge: Cambridge University Press. Halaman: 67.
[30]Jhon Rawls. Basic Liberties and their Proirity”, in Sterling M. McMurrin (ed), 1987, Lberty, Equality. And Law,             Cambridge: Cambridge University Press. Halaman: 45.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Mufazzal (c). Powered by Blogger.

Blogroll

"Kami Pemuda Yang Mengakui Bahwa Kami Tidak Memiliki Pengalaman, karena Kami Tidak Menawarkan Masa lalu. Kami Pemuda Menawarkan Masa Depan Untuk Perubahan Menuju Kesejahteraan, Kecerdasan, Dan Harga Diri"

Total Views

Popular Posts

Blog Archive

Contact Form

Name

Email *

Message *